Info Halal#3: Kuas Yang Bikin Makanan Jadi Haram
Info Halal#3: Kuas Yang Bikin Makanan Jadi Haram
Sahabat Kedai Family, gimana rasanya jika sahabat sudah menyapu halaman secara bersih, laalu tiba tiba saat akan mengepel, semua jadi kotor karena pel kita terkena cat dan kita tidak tahu. Rasanya dongkol kan?
Begitu juga dalam pembuatan bahan makanan. Usaha kita untuk bersusah payah memakai bahan makanan yang halal bisa buyar jika kita tidak teliti memakai kuas makanan kita.
Lho hubungan nya apa antara kuas makanan dengan status halal/haram makanan kita?
Simak Artikel berikut
Kuas, dengan segala variasi dan bentuknya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan.
Kuas dimanfaatkan untuk alat bantu mengolah makanan. Membantu mengoleskan bahan tambahan ke kue, mengoleskan bumbu untuk segala sajian bebakaran dan lainnya. Kuas menjadi berkaitan erat dengan apa yang kita konsumsi dan apa yang kita pakai di tubuh.
Sebagai seorang Muslim, memperhatikan kehalalan apa yang dikonsumsi wajib hukumnya. Kaidah fikih menyebutkan sarana dari perbuatan wajib maka hukumnya adalah wajib. Jika mengonsumi makanan halal wajib hukumnya, memastikan bahan dan alat bantu mengolahnya berstatus halal juga wajib hukumnya.
Kuas yang saat ini beredar, menurut Founder Halal Corner Aisha Maharani, terbuat dari dua bahan. Kuas memiliki titik kritis halal pada bahannya. Ada kuas yang terbuat dari bulu hewan dan ada yang terbuat dari bahan sintetis.
Di pasaran juga beredar kuas yang memang diproduksi dari bulu babi. Alasannya bulu babi sangat lembut sehingga cocok dipakai untuk memasak atau untuk berhias. Aisha menyarankan agar tidak bingung mana yang bulu babi atau bukan. Konsumen bisa memakai kuas dari bahan sintetis. Kuas sintetis terbuat dari silikon dan polyester.
"Kuas masak itu dalam audit halal adalah salah satu poin yang dikritisi asalnya dari mana. Apakah dia dari hewan halal atau bukan," kata Aisha Maharani, Rabu (19/8/2015).
Meski makanan atau kosmetik yang digunakan halal, jika menggunakan kuas dari bahan haram, zat yang digunakan jatuh menjadi haram. Jika menggunakan bahan dari bulu babi, selain haram juga berdampak buruk bagi tubuh.
"Jadi, kalau kita gunakan kuas untuk masak dan kecantikan diusahakan bahannya harus yang halal," ujarnya.
Aisha menyampaikan guna mengetahui apakah kuas yang kita gunakan sehari-hari itu halal atau tidak bisa dilihat dari karakteristik dan warna. "Kalau babi sendiri kebanyakan putih, /pink, dan cokelat, dan sangat halus," katanya.
Ciri-ciri lain jenis kuas yang terbuat dari bulu babi adalah timbul bau bulu terbakar jika terkena panas api.
Mantan auditor halal LPPOM MUI Anna Roswiem dalam Buku Saku Produk Halal menambahkan, kuas dari bulu babi biasa disebut hog bristle. Kuas jenis ini jelas keharamannya. Sementara, ada kuas yang terbuat dari bulu kambing atau wool bristle, goat hair brushes, wool brushes.
Kuas jenis ini juga memiliki titik kritis. Meski kambing secara zat halal, tata cara penyembelihannya harus diperhatikan. Jika penyembelihan dengan menyebut nama Allah maka halal.
Kuas yang halus juga bisa dibuat dari bulu ekor kuda, musang, tupai, bahkan anjing. Rambut atau bulu adalah suatu protein yang bernama keratin. Keratin merupakan salah satu kelompok protein yang dikenal sebagai protein serat.
Protein serat memiliki struktur panjang. Setiap hewan memiliki protein keratin pada bagian dermis (permukaan) dari kulit, kuku, paruh, sisi ikan, tanduk, dan kuku binatang. Sebagai halnya protein, rambut atau bulu yang mengandung keratin saat dibakar akan menimbulkan bau yang khas. Bau khas tersebut sama ketika kita mencium aroma daging yang dipanggang.
Sementara, bila kuas itu terbuat dari ijuk atau sabut, ketika dibakar pasti akan langsung terbakar dan tidak mengeluarkan aroma spesifik selain bau abu pembakaran. Ketika dibandingkan dengan sapu ijuk dibakar, jelas sekali terdapat perbedaan bau yang sangat kentara.
Pada kesempatan lain Ketua Halal Watch Rachmat O Halawa meminta kaum muslimin mewaspadai penggunaan kuas bulu babi dalam makanan. Menurut Ketua Halal Watch itu, kuas pengoles kuning telur atau margarin bisa berasal dari bulu imitasi, bulu kuda, atau bulu babi. “Kuas bulu impor biasanya dari bulu telinga atau bulu tengkuk babi,” ungkap Rachmat, sambil memberikan tips untuk membedakan bulu imitasi dan bulu dari binatang dengan cara membakar dan mencium baunya.
Ia mengatakan, jumhur ulama sepakat, seluruh bagian babi adalah najis dan tidak boleh dimanfaatkan untuk konsumsi maupun pemakaian luar tubuh seperti kosmetika, perhiasan, sepatu, dan pakaian. “Kalau tubuh kita tercemar produk yang mengandung babi, maka harus disucikan sebagaimana jika terkena babi secara langsung,” imbuh Rachmat.
Pada gagang kuas berbulu babi sering tertulis kata : Bristle, Pure Bristle, 100% China Bristle, dll.
Salah satu makna kata Bristle adalah Pig Hair atau bulu babi (Webster’s Dictionary) yang berstatus najis apabila basah. Oleh karena itu, roti yang terkena sapuan kuas najis menjadi terkena najis, sehingga haram dimakan.
Namun, kuas, sikat, atau sikat gigi tidak selalu terbuat dari babi walaupun ada tulisan bristle nya, karena istilah bristle yang masih bersifat umum. Ada beberapa produsen sudah menggunakan bulu kambing atau bulu unta atau kuda sebagai bahan kuas atau berbahan nylon. Kelompok bahan terakhir jelas boleh digunakan. Ketika tidak ada informasi sumber bahannya, paling tidak dapat dipakai cara sederhana. Untuk memastikan apakah berbahan bulu hewan atau tidak, cara yang dimaksud adalah dengan membakar bahan tersebut. Jika baunya seperti rambut atau tanduk terbakar, lebih baik tinggalkan saja. Bahan dari plastik atau sabut kelapa tidak mengeluarkan bau khas seperti itu jika dibakar.
Pengganti kuas bulu babi adalah kuas dari bahan plastik (polyester). Perusahaan kuas merk Ken Master dan Selery juga meproduksi kuas dari bahan halal ini.
Perbedaan Pendapat
Polemik tentang keharaman penggunaan bulu babi ternyata tidak difatwakan semua ulama. Menurut Situs Islam Rumaysho.com, beberapa ulama seperti mazhab Malikiyah dan Ibnu Taimiyah menyelisihi pendapat jumhur ulama.
Ibnu Taimiyah misalnya berkata dalam Majmu’ Al Fatawa, 21: 617-619, “Pendapat terkuat, setiap bulu itu suci termasuk bulu anjing, babi, dan selainnya, berbeda halnya dengan air liur. Oleh karenanya bulu anjing yang basah jika terkena baju seseorang, maka tidak ada kewajiban apa-apa. Sebagaimana hal ini yang jadi pegangan mayoritas ulama dalam mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua pendapatnya. Dikatakan demikian karena hukum asal sesuatu adalah suci. Tidak boleh dikatakan najis atau haram sampai ada dalil. Bulu sama sekali tidaklah terpengaruh dengan bekas-bekas najis, maka sangat sulit jika bulu tersebut jadi najis. Setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraanya pun sama dalam masalah bulu dengan yang dibicarakan pada bulu anjing. Namun yang lebih tepat bahwa bulu hewan najis itu suci.”
Sementara ulama Malikiyah berdalil, bulu adalah sesuatu yang tidak memiliki kehidupan. Najis hanyalah berpengaruh pada bagian tubuh yang bisa berkembang seperti daging, beda halnya dengan bulu atau juga kuku. Asalnya, bulu dari bangkai tetap suci karena bulu tidak bisa merasa atau tidak bisa menderita sakit sehingga tidak bisa dihukumi najis ketika mati. (Lihat pembahasan di atas dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 20: 35 dan 26: 102).
Sedangkan Syaikh Sholih Al Munajjid berpendapat dalam Fatwa Al Islam Sual wal Jawab No. 175729, “tidak mengapa menggunakan kuas dari bulu babi. Tidak ada masalah jika kuas tersebut dalam keadaan basah lalu menyentuh atau mengoles yang lain. Akan tetapi, menghindarinya itu lebih baik supaya keluar dari perselisihan para ulama. Wallahu a’lam.”
sumber:
http://www.halalcorner.id/titik-kritis-pada-bahan-produk-bakery/
http://www.republika.co.id/berita/koran/dialog-jumat/15/08/21/ntfd0l1-titik-kritis-halal-
http://www.muslimdaily.net/berita/nasional/halal-watch-waspadai-penggunaan-kuas-bulu-babi-dalam-makanan-3623.html
http://www.halalmui.org/mui14/index.php/main/detil_page/8/23216/30/1/591
0 komentar :